Pengaruh Negatif Perkembangan Budaya Populer
Terhadap Karakter Remaja Indonsia
Oleh : Siti Aisah (Mahasiswi UnPam)
PustakaPelangiNews.com - Budaya populer sering digunakan untuk menyebut budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Budaya populer juga dianggap sebagai representasi dari budaya rendah. Dalam arti, budaya populer bersifat residual dalam mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi yang luhur.
Budaya populer seringkali dianggap sebagai
produk atau praktik budaya dengan selera rendah. Hal ini merujuk pada pandangan
yang mengatakan bahwa budaya populer merupakan budaya komersial sebagai dampak
dari produksi massal dan industrialisasi, sementara budaya tinggi adalah produk
budaya hasil intelektualitas dan kreativitas individu yang lebih sophisticated (adiluhung).
Meskipun beberapa kalangan mengkritik pemisahan
budaya populer dengan budaya tinggi, tetapi perbedaan diantara keduanya tampak
jelas. Kritik terutama ditujukan pada perubahan pandangan masyarakat pada objek
budaya yang sama. Artinya, suatu produk atau praktik budaya bisa ditafsirkan
sangat berbeda ketika berada dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Misalnya,
karya-karya Shakespeare yang saat ini dianggap mewakili budaya tinggi, pada
jamannya justru merupakan praktik budaya populer.
Budaya populer pada konteks tertentu juga didefinisikan (disamakan) sebagai budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi massa untuk dikomsumsi massa.
Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan oleh industri produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen. Budaya massa terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, dan lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera rendah.
Budaya populer juga dikaitkan dengan konsep
hegemoni Antonio Gramsci, mengacu pada cara kelompok dominan dalam suatu
masyarakat mempengaruhi dan mendapatkan dukungan dari kelompok subordinat
melalui proses kepemimpinan (jika tidak boleh disebut teladan), intelektual,
dan moral atas praktik-praktik budaya.
Gramsci menegaskan terdapat pertarungan ideologis dalam masyarakat, dimana kelompok-kelompok subordinat melakukan perlawanan secara terus-menerus terhadap kekuatan dominan, sehingga menghasilkan resistensi dan konsensus yang saling berkelindan dan tumpang tindih.
Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, pada dasarnya sangat rumit, terutama karena konsep tersebut masih diperdebatkan. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri.
John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, menyatakan bahwa budaya populer juga didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah menetapkan apa yang disebut sebagai budaya tinggi. Namun kenyataannya banyak karya dan praktik budaya yang melampaui dikotomi ini, misalnya Shakespeare. Suatu pendekatan post-modernisme pada budaya populer bahkan tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya populer dan budaya tinggi.
Pada awalnya, kajian tentang budaya populer tidak dapat dipisahkan dari peran Amerika Serikat dalam memproduksi dan menyebarkan budaya Populer. Negara tersebut telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam industri budaya populer, antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood, dan industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones, dll). Namun, perkembangan selanjutnya memunculkan negara-negara lain yang juga berhasil menjadi pusat budaya populer seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan.
Dadang Rusbiantoro dalam buku Generasi MTV (Dadang, 2008:190) juga menyatakan bahwa MTV -terutama pada Indonesia- membawa sangat banyak pengaruh. Budaya MTV yang pada kalanya menjadi bagian dari budaya populer remaja Indonesia sangat berpengaruh. Baik disadari maupun tidak, budaya populer dan media massa membawa pengaruh sangat besar terhadap remaja.
Dadang menyatakan bahwa remaja merupakan sebuah
bentuk kontradiktif antara sebagai pengungkapan ekspresi diri sendiri dan juga
sebagai padang rumput yang subur bagi produsen komersial.
Menurut Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan budaya populernya. Ia mengemukakan bahwa, “Selama dua dekade terakhir, produk-produk budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan, dan dikonsumsi secara besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara”. Manga (komik Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh budaya populer Jepang yang sukses di berbagai negara.
Setelah Jepang, menyusul Korea Selatan yang
melakukan ekspansi melalui budaya populer dalam bentuk hiburan. Amerika
Serikat sebagai negara asal budaya pop juga mendapat pengaruh penyebaran budaya
pop Korea tersebut. Hal ini dibuktikan dengan masuknya beberapa artis Korea
ke Hollywood.
Di samping itu, film-film Korea juga menjadi magnet bagi sutradara Hollywood untuk
melakukan re-make film
Korea, salah satunya Il Mare yang ceritanya diadopsi Hollywood menjadi Lake House.
Kasus di Amerika Serikat tersebut menjadi contoh keberhasilan ekspansi budaya
populer Korea di dunia.
Proses penyebaran budaya Korea di dunia dikenal dengan istilah Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave (“Gelombang Korea”) adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia. Pada umumnya Hallyu mendorong masyarakat penerima untuk mempelajari bahasa Korea dan kebudayaan Korea,hingga akhirnya budaya tersebut masuk ke Indonesia dan melahirkan musisi ternama.
Budaya sedikit banyak mempengaruhi unsur-unsur
manusia dalam menjalani kehidupannya. Dahulu, orang-orang berpergian
menggunakan delman. Dan beberapa tahun kemudian, orang-orang berpergian
menggunakan taksi, mobil atau kendaraan umum.
Dahulu sekali, orang mendengarkan musik
menggunakan gramophone atau piringan hitam. Kini orang-orang mendengarkan musik
menggunakan telepon genggam atau mp3 player, dimana segala sesuatunya menjadi
mungil dan mudah dibawa kemana-mana.
Demikian juga dalam dunia pendidikan. Dulu
sekali para murid menulis menggunakan papan hitam kecil berupa batu tulis,
kemudian setelah kertas ditemukan mereka menulis menggunakan buku. Masa dewasa
ini, tidak hanya buku saja yang digunakan. Para siswa bisa menulis menggunakan komputer,
laptop hingga tablet.
Bila tidak mengikuti arus perkembangan jaman
dan mengikuti budaya populer, seseorang dikatakan kuno dan ketinggalan jaman.
Dan parahnya lagi, orang tidak memiliki persepsi yang sama mengenai apa itu
budaya populer. Pada umumnya mereka hanya ikut-ikutan semata tanpa memahami
segi positif atau negatif dari suatu budaya populer.
Budaya populer tampak menjadi pedang dengan dua sisi. Satu sisi memperkaya budaya sendiri dan sisi lain merusak budaya asli itu sendiri.
Pengaruh Budaya Populer Terhadap Remaja
Seperti yang sudah dibahas pada bagian Budaya Populer di atas, istilah budaya populer itu sendiri kadang didefinisikan sebagai “budaya rendahan”, yang berlawanan dengan budaya tinggi. Hal ini disimpulkan dari tinjauan bahwa budaya populer tidak memiliki beberapa unsur yang dimiliki budaya tinggi, yaitu intelektualitas, adiluhung, dan sophisticated.
Seperti yang dibahas oleh Cyntia Rachmijati dalam artikelnya mengenai pengaruh budaya pop (https://cynantia.wordpress.com/2013/10/21/pengaruh-budaya-populer-pada-pendidikan/), budaya populer memiliki beberapa karakteristik khusus. Beberapa karakteristik ini baik mau atau tidak mau, akan terserap pada individu atau kelompok yang turut mengikuti perkembangan budaya populer, walaupun tidak kesemuanya terutama remaja akan memiliki karakter-karakter tersebut.
Para remaja akan memiliki pola pikir yang banal, akan menyerap sifat materialistis, konsumerisme, hedonisme, dan banyak pengaruh yang menurut penulis seperti yang kita lihat bahwa perkembangan budaya populer sangat merebak dan sangat susah dihindari. Salah satu hal yang sangat penulis sayangkan adalah budaya populer yang berkembang di Indonesia justru merupakan budaya impor yang diimpor dengan lebih mengutamakan kepentingan materialism, tanpa memikirkan pengaruh-pengaruh negative dari budaya tersebut.
Remaja yang menyerapnya juga cenderung langsung menyerapnya secara pragmatis dan banal. Jika hal demikian terus berkembang tanpa pengawasan dan tindak lanjut, pengaruh-pengaruh negative yang terkandung dalam budaya populer akan terserap ke dalam kepribadian remaja, dan yang lebih parah lagi, akan berpengaruh buruk terhadap jati diri bangsa kita, bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment